PhotobucketPhotobucketPhotobucket

Selasa, 18 November 2008

Catatanku (3) : oh krisis ....

Tanggung Jawab Siapa....?

Situasi perusahaan kita belakangan ini menunjukkan hal-hal yang kebingungan, kegalauan, dan kecemasan menghantui semua lapisan karyawan. Direksi dan para elite manajemen yang seharusnya mengayomi dan memperjuangkan peningkatan kualitas karyawannya, sibuk membela kepentingan mereka masing-masing. Kita bisa merasakan adanya keinginan dan harapan yang amat besar dari karyawan akan terjadinya perubahan, akan perlunya dilakukan tindakan penyelamatan atas perusahaan ini. Namun, sebelum melakukan tindakan penyelamatan, dibutuhkan pengertian yang sebaik-baiknya dan sedalam-dalamnya tentang sifat, karakteristik, dan akar terjadinya beragam masalah yang melanda perusahaan kita sekarang ini. Tanpa pemahaman itu mustahil kita bisa keluar dari belenggu permasalahan yang terus menghimpit perusahaan kita.
Disinilah sat ini dibutuhkan kepemimpinan dari direksi yang mempunyai visi dan misi jelas dan strategic, bukan mengikuti arus atau hanya percaya pada bawahannya GM-GM yang pandai membual dan menyenangkan saja.
Berdasarkan kesimpulan Peter F Drucker yang menyangkut empat hal pemimpin :
Pertama, pemimpin adalah seseorang yang mempunyai pengikut, tanpa pengikut seorang pemimpin bukan pemimpin. Artinya, pemimpin harus "diikuti" bukan "mengikuti".
Kedua, seorang pemimpin bukanlah yang semata-mata dipuja, dicintai, dan populer. Pimpinan yang sebenarnya adalah yang bisa menunjukkan hasil.
Ketiga, pimpinan harus bisa memberikan contoh-contoh yang positif dan konkret.
Keempat, kepemimpinan bukanlah pangkat/jabatan, keistimewaan, gelar atau harta. Kepemimpinan adalah tanggung jawab.
Pemimpin bukan pula penganjur atau pengkotbah semata, tetapi mampu melaksanakan apa yang dikatakannya. Peter F Drucker berujar, memang ada orang yang memiliki kharisma kepemimpinan yang dibawa sejak lahir.
Kelemahan lain yang melekat pada BUMN adalah tidak diterapkannya sistem carrot and stick atau imbalan dan hukuman, jika direksi tidak mencapai sasaran yang ditetapkan. Ganjaran diberikan berupa bonus pada akhir tahun, tetapi hukuman atau penalti tidak ada, paling-paling diganti setelah perusahaan babak-belur.
Banyak BUMN termasuk “disini” yang kondisi perusahaannya “kurus”, bahkan hamper bangkrut namun direksinya atau mantan direksi serta konco2nya malah “gemuk-gemuk”. Pokoknya, jadi direksi itu enaklah…..pastinya…

Catatanku (2) : MK

Mengkritisi Pengelolaan BUMN tempatku.

Mike Seymour, seorang praktisi Public Relations ternama mengungkap bahwa setiap institusi wajib memiliki rencana manajemen krisis. Tidak memilikinya merupakan sebuah bentuk kegagalan korporasi. Seymour bahkan dengan tegas mengatakan bahwa pada saat ini jika perusahaan tidak siap untuk menghadapi dan mengelola krisis, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan tidak bertanggungjawab perusahaan (corporate irresponsibility).
Seymour meyakini bahwa mempersiapkan perusahaan menghadapi krisis merupakan upaya terstruktur untuk menjaga (dan meningkatkan) reputasi perusahaan. Karena, dalam setiap krisis, perusahaan harus sanggup menghadapi segala risiko yang timbul. Respons perusahaan terhadap segala kemungkinan itulah yang akan menghasilkan sikap percaya (trust) atau tidak dari publik

Di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), penerapan manajemen krisis ini sebenarnya sudah di atur melalui Keputusan Menteri (Kepmen) yang dikeluarkan per tanggal 1 Agustus 2002.


Sistem kontrak manajemen menurut hemat saya akan memberikan peluang pada profesionalisme mengelola BUMN.
Misalnya dalam sistem kontrak manajemen ditetapkan dewan direksi harus mampu mendapatkan keuntungan 20 persen per tahun dari total aset yang dikelolanya, jika tak mampu silakan mengundurkan diri sebelum dipinggirkan. Kepada yang sanggup, pemerintah tinggal mengevaluasi, apabila dalam jangka waktu satu atau dua tahun misalnya direksi tak sanggup mewujudkan keuntungan yang dimaksud, otomatis dia harus diganti dengan yang lain - begitu seterusnya.
Dengan cara demikian, tak akan ada lagi di antara anggota dewan direksi yang menghambur-hamburkan uang negara atau keinginan untuk melampiaskan menambah kekayaan pribadinya.
Sampai saat ini pengelolaan BUMN “tempat saya bekerja” sangat tidak efisien. Indikasinya, ratusan milyar bahkan mungkin trilyunan uang negara ada di sini, keuntungan yang berhasil diraihnya tidak ada, malah sebaliknya kesulitan liquiditas yang semakin parah.
Umumnya anggota direksi BUMN “ini” saat berkuasa menganggap perusahaan negara ini adalah perusahaannya sendiri. Sedikit sekali kesadaran bahwa yang dikelolanya itu adalah kekayaan negara, milik bangsa. Ini bisa dibuktikan, biar “BUMN”-nya rugi milyaran rupiah, tapi pola kebijakan atau prilakunya belum menunjukkan kesadaran yang semestinya.
Seharusnya dalam masa-masa perusahaan yang saat ini dalam kondisi krisis, seorang Direksi harus bisa memberi ketauladanan berlaku hemat tidak banyak bepergian yang tidak membawa manfaat bagi perusahaan dan mau berkorban dengan mengurangi sebagian fasilitas yang didapat atau bila perlu gajinya juga dipotong, namun hal ini kelihatannya sulit dilakukan.
Pengangkatan direksi kelihatannya tidak lagi berdasarkan pertimbangan keahlian, integritas, kepemimpinan, pengalaman dan perilaku serta dedikasi untuk mengembangkan usaha guna kemajuan perusahaan, dan tidak lagi memperhatikan karakteristik dan spesifikasi bisnis perusahaan dengan penempatan figur yang tepat.

BIsakah disaat krisis ekonomi ini, perusahaan BUMN “ini” menjadi LOkomotif Pejuang bangsa mengatasi krisis global yang ada, dan semoga BUMN "ini" tidak hanya menjadi perongrong ekonomi bangsa….Insya Allah.

Jumat, 14 November 2008

Catatanku : HI

Hubungan Industrial yang harmonis merupakan hubungan yang konstruktif antara pekerja dan Manajemen, yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas dan kelangsungan usaha. Untuk tercapainya Hubungan Industrial yang harmonis tersebut, semangat “Win-Win Solution” perlu ditumbuh kembangkan secara terus menerus. Untuk itu, peningkatan kesadaran dan saling keterbukaan menghargai kepentingan masing-masing pihak merupakan suatu kondisi yang perlu diciptakan di dalam perusahaan.
Tidak lain, komunikasi merupakan faktor yang menentukan dalam keberhasilan hubungan industrial. Komunikasi yang kurang efektif dapat berakibat, tidak hanya pada hubungan yang kurang harmonis dalam lingkungan kerja, namun lebih jauh adalah terjadinya distorsi pemahaman akan berbagai kebijakan manajemen, yang tentu saja dapat berakibat buruk bagi perusahaan, dan juga pihak stakeholder.
Sehingga, mutlak diperlukan dalam hubungan industrial adalah kemampuan berkomunikasi, menyampaikan pesan-pesan kepada bawahan tentang kebijakan perusahaan, dengan tingkat distorsi yang seminimal mungkin, bahkan mencapai NOL (tidak ada). Komunikasi ini pun dapat menciptakan saling pengertian. Untuk itu perlu ada saling memahami dan membangun budaya keterlibatan. Inilah yang merupakan esensi dari demokrasi industri.
Sayangnya hal ini jarang atau tidak dilakukan dan tidak terjadi pada perusahaan BUMN (tempat saya bekerja), yang terjadi justru sering keluar statement-statemen saling mencurigai antara pihak Manajemen (Top/middle Manajemen) dan Karyawan. Dari sisi Manajemen sering dengan emosinya mengatakan bahwa karyawan pelaksana tidak produktif, sering membuat defect dalam proses produksi, malas, tidak ada motivasi kerja, dll, yang intinya adalah karyawan pelaksana sebagai penyebab buruknya kondisi perusahaan. Sedangkan dari Karyawan pelaksana sebaliknya sering mengatakan bahwa Direksi (Manajemen) sering melakukan pemborosan pemakaian fasilitas perusahaan, sering kluyar kluyur (pergi2) yang tidak membawa manfaat bagi perusahaan, tidak mempunyai kompetensi, tidak mempunyai strategi dlm mengelola perusahaan, takut mengambil kebijaksanaan, dll. Yang lebih parah lagi muncul parikan jalanan (parikan karyawan yang naik bus line/antar jemput bis)yang intinya menggambarkan ketidak mampuan Direksi menjalankan perusahaan (tidak saya tulis parikannya karena sangat menyinggung perasaan). Sehingga dari tersebut diatas sudah dapat terbaca apa yang bakal terjadi pada perusahaan ini kedepan.... Subhanallah....

"Perlakukan karyawan sebagai kolega, dan jangan meremehkan, menghina, mencaci, bla bla bla, atau men-dholimi.
Mereka adalah mitra kerja, bukan abdi atau sahabat terbaik.
Demi harga diri, jangan menjadi Direktur Pamer Diri"